Sabtu, 15 September 2018
Sejarah Singkat Khulafaur Rasyidin
4:06 AM - By Uniklo Pedia
1
Khulafaur Rasyidin
Khulafaur Rasyidin (bahasa Arab: الخلفاء الراشدون) atau Khalifah
Ar-Rasyidin adalah empat orang khalifah (pemimpin) pertama agama Islam,
yang dipercaya oleh umat Islam sebagai penerus kepemimpinan setelah Nabi
Muhammad SAW wafat. Empat orang tersebut adalah para sahabat dekat
Muhammad SAW yang tercatat paling dekat dan paling dikenal dalam membela
ajaran yang dibawanya di saat masa kerasulan Muhammad SAW. Keempat
khalifah tersebut dipilih bukan berdasarkan keturunannya, melainkan
berdasarkan konsensus bersama umat Islam.[1]
Prosedur pemilihan terhadap masing-masing khalifah tersebut
berbeda-beda, hal tersebut terjadi karena para sahabat menganggap tidak
ada rujukan jelas yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad SAW tentang cara
pemilihan / suksesi kepemimpinan Islam sepeninggal beliau SAW. Namun
penganut paham Syi'ah meyakini bahwa Muhammad SAW dengan jelas menunjuk
Ali bin Abi Thalib (khalifah ke-4) dan keturunan beliau SAW dari garis
Ali bin Abi Thalib lah yang akan meneruskan kepemimpinannya atas umat
Islam, mereka merujuk kepada salah satu hadits Ghadir Khum.
Secara resmi istilah Khulafaur Rasyidin merujuk pada empat orang khalifah pertama Islam, namun sebagian ulama menganggap bahwa Khulafaur Rasyidin atau khalifah yang memperoleh petunjuk tidak terbatas pada keempat orang tersebut di atas, tetapi dapat mencakup pula para khalifah setelahnya yang kehidupannya benar-benar sesuai dengan petunjuk al-Quran dan sunnah. Salah seorang yang oleh kesepakatan banyak ulama dapat diberi gelar khulafaur rasyidin adalah Umar bin Abdul-Aziz, khalifah Bani Umayyah ke-8.
Secara resmi istilah Khulafaur Rasyidin merujuk pada empat orang khalifah pertama Islam, namun sebagian ulama menganggap bahwa Khulafaur Rasyidin atau khalifah yang memperoleh petunjuk tidak terbatas pada keempat orang tersebut di atas, tetapi dapat mencakup pula para khalifah setelahnya yang kehidupannya benar-benar sesuai dengan petunjuk al-Quran dan sunnah. Salah seorang yang oleh kesepakatan banyak ulama dapat diberi gelar khulafaur rasyidin adalah Umar bin Abdul-Aziz, khalifah Bani Umayyah ke-8.
Para Khalifah Ar Rasyidin
Abu Bakar Ash-Shiddiq
Abu Bakar ash-Shiddiq (573 - 634 M, menjadi khalifah 632 - 634 M) lahir
dengan nama Abdus Syams, "Abu bakar" adalah gelar yang diberikan
masyarakat muslim kepadanya. Nama aslinya adalah Abdullah bin Abi
Quhafah". Ia mendapat gelar "as-Shiddiq" setelah masuk Islam. Nama
sebelum muslim adalah "Abdul Ka'bah". Ibunya bernama "Salma Ummul
Khair", yaitu anak dari paman "Abu Quhafah". Abu Bakar adalah khalifah
pertama Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Ia adalah salah
seorang petinggi Mekkah dari suku Quraisy. Setelah memeluk Islam namanya
diganti oleh Muhammad menjadi Abu Bakar. Ia digelari Ash- Shiddiq yang
berarti yang terpercaya setelah ia menjadi orang pertama yang mengakui
peristiwa Isra' Mi'raj.
Ia juga adalah orang yang ditunjuk oleh Muhammmad SAW untuk menemaninya hijrah ke Yatsrib. Ia dicatat sebagai salah satu Sahabat Muhammad SAW yang paling setia dan terdepan dalam melindungi para pemeluk Islam bahkan terhadap sukunya sendiri.
Ketika Muhammad SAWsakit keras, Abu Bakar adalah orang yang ditunjuk olehnya untuk menggantikannya menjadi Imam dalam Shalat. Hal ini menurut sebagian besar ulama merupakan petunjuk dari Nabi Muhammad SAW agar Abu Bakar diangkat menjadi penerus kepemimpinan Islam jika beliau SAW meninggal. Ketika Nabi Muhammad SAW meninggal, terjadi perdebatan siapa yang akan meneruskan kepemimpinan Islam selama 3 hari lamanya, yang akhirnya menghasilkan keputusan bersama umat Islam saat itu, Abu Bakar diangkat sebagai pemimpin pertama umat Islam sepeninggal Muhammad SAW. Abu Bakar memimpin selama dua tahun dari tahun 632 M sejak kematian Muhammad SAW hingga tahun 634 M.
Selama dua tahun masa kepemimpinan Abu Bakar, masyarakat Arab di bawah Islam mengalami kemajuan pesat dalam bidang sosial, budaya dan penegakan hukum. Selama masa kepemimpinannya pula, Abu Bakar berhasil memperluas daerah kekuasaan Islam ke Persia, sebagian Jazirah Arab hingga menaklukkan sebagian daerah kekaisaran Bizantium. Abu Bakar meninggal saat berusia 61 tahun pada tahun 634 M akibat sakit yang dialaminya.
Abu Bakar menjadi khalifah hanya selama dua tahun. Pada tahun 634 M ia meninggal dunia. Masa sesingkat itu terjadi masalah dalam negeri terutama tantangan yang disebabkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk lagi kepada pemerintah Madinah sepeninggal Nabi Muhammad SAW. Mereka menganggap bahwa perjanjian yang dibuat dengan Nabi Muhammad SAW, dengan sendirinya batal setelah Nabi SAW wafat. Karena itu mereka menentang Abu Bakar. Karena sikap keras kepala dan penentangan mereka yang dapat membahayakan agama dan pemerintahan, Abu Bakar menyelesaikan persoalan ini dengan apa yang disebut Perang Riddah (perang melawan kemurtadan). Khalid bin Al-Walid adalah panglima yang banyak berjasa dalam Perang Riddah ini.
Ia juga adalah orang yang ditunjuk oleh Muhammmad SAW untuk menemaninya hijrah ke Yatsrib. Ia dicatat sebagai salah satu Sahabat Muhammad SAW yang paling setia dan terdepan dalam melindungi para pemeluk Islam bahkan terhadap sukunya sendiri.
Ketika Muhammad SAWsakit keras, Abu Bakar adalah orang yang ditunjuk olehnya untuk menggantikannya menjadi Imam dalam Shalat. Hal ini menurut sebagian besar ulama merupakan petunjuk dari Nabi Muhammad SAW agar Abu Bakar diangkat menjadi penerus kepemimpinan Islam jika beliau SAW meninggal. Ketika Nabi Muhammad SAW meninggal, terjadi perdebatan siapa yang akan meneruskan kepemimpinan Islam selama 3 hari lamanya, yang akhirnya menghasilkan keputusan bersama umat Islam saat itu, Abu Bakar diangkat sebagai pemimpin pertama umat Islam sepeninggal Muhammad SAW. Abu Bakar memimpin selama dua tahun dari tahun 632 M sejak kematian Muhammad SAW hingga tahun 634 M.
Selama dua tahun masa kepemimpinan Abu Bakar, masyarakat Arab di bawah Islam mengalami kemajuan pesat dalam bidang sosial, budaya dan penegakan hukum. Selama masa kepemimpinannya pula, Abu Bakar berhasil memperluas daerah kekuasaan Islam ke Persia, sebagian Jazirah Arab hingga menaklukkan sebagian daerah kekaisaran Bizantium. Abu Bakar meninggal saat berusia 61 tahun pada tahun 634 M akibat sakit yang dialaminya.
Abu Bakar menjadi khalifah hanya selama dua tahun. Pada tahun 634 M ia meninggal dunia. Masa sesingkat itu terjadi masalah dalam negeri terutama tantangan yang disebabkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk lagi kepada pemerintah Madinah sepeninggal Nabi Muhammad SAW. Mereka menganggap bahwa perjanjian yang dibuat dengan Nabi Muhammad SAW, dengan sendirinya batal setelah Nabi SAW wafat. Karena itu mereka menentang Abu Bakar. Karena sikap keras kepala dan penentangan mereka yang dapat membahayakan agama dan pemerintahan, Abu Bakar menyelesaikan persoalan ini dengan apa yang disebut Perang Riddah (perang melawan kemurtadan). Khalid bin Al-Walid adalah panglima yang banyak berjasa dalam Perang Riddah ini.
Kekuasaan pada masa Khalifah Abu Bakar, sebagaimana pada masa Rasulullah
SAW, bersifat sentral; kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif
terpusat di tangan khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan,
Khalifah juga melaksanakan hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an
dan as-sunnah. Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad SAW, Abu
Bakar selalu mengajak sahabat-sahabat besarnya bermusyawarah.
Setelah menyelesaikan urusan perang dalam negeri, barulah Abu Bakar mengirim kekuatan ke luar Jazirah Arabia. Khalid bin Walid dikirim ke Iraq dan dapat menguasai wilayah al-Hirah pada tahun 634 M. Ke Syria dikirim ekspedisi di bawah pimpinan empat panglima yaitu Abu Ubaidah ibnul Jarrah, Amr ibnul 'Ash, Yazid bin Abi Sufyan dan Syurahbil. Sebelumnya pasukan dipimpin oleh Usamah bin Zaid yang masih berusia 18 tahun. Untuk memperkuat tentara ini, Khalid bin Walid diperintahkan meninggalkan Irak, dan melalui gurun pasir yang jarang dijalani, ia sampai ke Syria.
Setelah menyelesaikan urusan perang dalam negeri, barulah Abu Bakar mengirim kekuatan ke luar Jazirah Arabia. Khalid bin Walid dikirim ke Iraq dan dapat menguasai wilayah al-Hirah pada tahun 634 M. Ke Syria dikirim ekspedisi di bawah pimpinan empat panglima yaitu Abu Ubaidah ibnul Jarrah, Amr ibnul 'Ash, Yazid bin Abi Sufyan dan Syurahbil. Sebelumnya pasukan dipimpin oleh Usamah bin Zaid yang masih berusia 18 tahun. Untuk memperkuat tentara ini, Khalid bin Walid diperintahkan meninggalkan Irak, dan melalui gurun pasir yang jarang dijalani, ia sampai ke Syria.
Umar Bin Khattab
Umar bin Khattab (586/590 - 644 M, menjadi khalifah 634 - 644 M) adalah
khalifah ke-2 dalam sejarah Islam. pengangkatan umar bukan berdasarkan
konsensus seperti Abu Bakar tetapi berdasarkan surat wasiat yang
ditinggalkan oleh Abu Bakar. Hal ini tidak menimbulkan pertentangan
berarti di kalangan umat Islam saat itu karena umat muslim saat itu
sangat mengenal Umar sebagai orang yang paling dekat dan paling setia
membela ajaran Islam. Hanya segelintir kaum, yang kelak menjadi golongan
Syi'ah, yang tetap berpendapat bahwa seharusnya Ali bin Abi Thalib lah
yang seharusnya menjadi khalifah. Umar memerintah selama sepuluh tahun
dari tahun 634 hingga 644.
Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian mewasiatkan agar tongkat kepemimpinan Islam diserahkan kepada Umar bin Khatthab sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Kebijaksanaan Abu Bakar tersebut ternyata diterima masyarakat yang segera secara beramai-ramai membaiat Umar. Umar menyebut dirinya Khalifah Rasulillah (pengganti dari Rasulullah). Ia juga memperkenalkan istilah Amir al-Mu'minin (petinggi orang-orang yang beriman).
Di zaman Umar gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama terjadi; ibu kota Syria, Damaskus, jatuh tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah tentara Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan memakai Syria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan 'Amr bin 'Ash dan ke Irak di bawah pimpinan Sa'ad bin Abi Waqqash. Iskandariah (Alexandria), ibu kota Mesir, ditaklukkan tahun 641 M. Dengan demikian, Mesir jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Al-Qadisiyah, sebuah kota dekat Hirah di Iraq, jatuh pada tahun 637 M. Dari sana serangan dilanjutkan ke ibu kota Persia, al-Madain yang jatuh pada tahun itu juga. Pada tahun 641 M, Moshul dapat dikuasai. Dengan demikian, pada masa kepemimpinan Umar Radhiallahu ‘anhu, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir.
Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah propinsi: Makkah, Madinah, Syria, Jazirah Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang perlu didirikan. Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula jawatan pekerjaan umum. Umar juga mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang, dan membuat tahun hijiah.
Umar memerintah selama sepuluh tahun (13-23 H/634-644 M). Masa jabatannya berakhir dengan kematian. Dia dibunuh oleh seorang Zoroastrianis, budak Fanatik dari Persia bernama Abu Lu'lu'ah. Untuk menentukan penggantinya, Umar tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar. Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang di antaranya menjadi khalifah. Enam orang tersebut adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa'ad bin Abi Waqqash, Abdurrahman bin 'Auf. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Utsman sebagai khalifah, melalui proses yang agak ketat dengan Ali bin Abi Thalib.
Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian mewasiatkan agar tongkat kepemimpinan Islam diserahkan kepada Umar bin Khatthab sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Kebijaksanaan Abu Bakar tersebut ternyata diterima masyarakat yang segera secara beramai-ramai membaiat Umar. Umar menyebut dirinya Khalifah Rasulillah (pengganti dari Rasulullah). Ia juga memperkenalkan istilah Amir al-Mu'minin (petinggi orang-orang yang beriman).
Di zaman Umar gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama terjadi; ibu kota Syria, Damaskus, jatuh tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah tentara Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan memakai Syria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan 'Amr bin 'Ash dan ke Irak di bawah pimpinan Sa'ad bin Abi Waqqash. Iskandariah (Alexandria), ibu kota Mesir, ditaklukkan tahun 641 M. Dengan demikian, Mesir jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Al-Qadisiyah, sebuah kota dekat Hirah di Iraq, jatuh pada tahun 637 M. Dari sana serangan dilanjutkan ke ibu kota Persia, al-Madain yang jatuh pada tahun itu juga. Pada tahun 641 M, Moshul dapat dikuasai. Dengan demikian, pada masa kepemimpinan Umar Radhiallahu ‘anhu, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir.
Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah propinsi: Makkah, Madinah, Syria, Jazirah Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang perlu didirikan. Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula jawatan pekerjaan umum. Umar juga mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang, dan membuat tahun hijiah.
Umar memerintah selama sepuluh tahun (13-23 H/634-644 M). Masa jabatannya berakhir dengan kematian. Dia dibunuh oleh seorang Zoroastrianis, budak Fanatik dari Persia bernama Abu Lu'lu'ah. Untuk menentukan penggantinya, Umar tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar. Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang di antaranya menjadi khalifah. Enam orang tersebut adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa'ad bin Abi Waqqash, Abdurrahman bin 'Auf. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Utsman sebagai khalifah, melalui proses yang agak ketat dengan Ali bin Abi Thalib.
Utsman Bin Affan
Utsman bin Affan dilahirkan pada tahun 573 M pada sebuah keluarga dari
suku Quraisy bani Umayah. Nenek moyangnya bersatu dengan nasab Nabi
Muhammad SAW pada generasi ke-5. Sebelum masuk Islam ia dipanggil degan
sebutan Abu Amr. Ia begelar Dzunnurain, karena menikahi dua putri Nabi
SAW. Utsman bin Affan menjadi khalifah 644-655 M dan merupakan khalifah
ke-3 dalam sejarah Islam. Umar bin Khattab tidak dapat memutuskan
bagaimana cara terbaik menentukan khalifah penggantinya. Segera setelah
peristiwa penikaman dirinya oleh Fairuz, seorang majusi persia, Umar
mempertimbangkan untuk tidak memilih pengganti sebagaimana dilakukan
Rasulullah. Namun Umar juga berpikir untuk tidak meninggalkan wasiat
seperti yang pernah dilakukan Abu Bakar. Umar bin Khattab lebih memilih
untuk menunjuk enam orang Sahabat sebagai Dewan Formatur yang bertugas
untuk memilih khalifah baru. Keenam Orang itu adalah Abdurrahman bin
Auf, Saad bin Abi Waqash, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam,
Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Prosedur suksesi ini memutuskan
Utsman bin Affan sebagai khalifah baru pengganti Umar bin Khattab.
Di masa pemerintahan Utsman, Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan berhasil direbut. Ekspansi Islam pertama berhenti sampai di sini.
Pemerintahan Utsman berlangsung selama 12 tahun, pada paruh terakhir masa kekhalifahannya muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan Utsman memang sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar. Selain itu tercatat dalam sejarah seseorang bernama Abdullah bin Saba’ Al-Yamani salah seorang yahudi yang berpura-pura masuk Islam membuat hasutan dan fitnah kepada masyarakat Islam untuk menjatuhkan Utsman bin Affan. Ibnu Saba’ ini gemar berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya untuk menyebarkan fitnah kepada kaum muslimin yang baru masa keislamannya. Akhirnya pada tahun 35 H/655 M, Utsman bin Affan dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang berhasil dihasut oleh Abdullah bin Saba’.
Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat berburuk sangka terhadap kepemimpinan Utsman adalah kebijaksanaannya mengangkat anggota keluarganya untuk menjabat posisi strategis. Yang terpenting di antaranya adalah Marwan bin Hakam Rahimahullah. Masyarakat pada masa itu melihat Marwan lah yang sebenarnya menjalankan roda pemerintahan, sedangkan Utsman bin Affan hanya menyandang gelar Khalifah saja. Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, Utsman terlihat seperti boneka di hadapan kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah terhadap keluarganya yang menjalankan roda pemerintahan, sehingga Utsman bin Affan dianggap lepas kendali terhadap beberapa kebijakan kerabatnya yang tidak disukai rakyat. Kondisi itulah yang dimanfaatkan Abdullah bin Saba’ untuk menebar fitnah dan hasutan kepada masyarakat untuk menjatuhkan Utsman, dan pada akhirnya Utsman bin Affan terbunuh oleh orang-orang yang termakan hasutan Abdullah bin Saba'. Meskipun begitu Utsman tercatat berjasa dalam membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Pada masa pemerintahannya tercatat Utsman banyak membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid dan memperluas masjid Nabi di Madinah.
Di masa pemerintahan Utsman, Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan berhasil direbut. Ekspansi Islam pertama berhenti sampai di sini.
Pemerintahan Utsman berlangsung selama 12 tahun, pada paruh terakhir masa kekhalifahannya muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan Utsman memang sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar. Selain itu tercatat dalam sejarah seseorang bernama Abdullah bin Saba’ Al-Yamani salah seorang yahudi yang berpura-pura masuk Islam membuat hasutan dan fitnah kepada masyarakat Islam untuk menjatuhkan Utsman bin Affan. Ibnu Saba’ ini gemar berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya untuk menyebarkan fitnah kepada kaum muslimin yang baru masa keislamannya. Akhirnya pada tahun 35 H/655 M, Utsman bin Affan dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang berhasil dihasut oleh Abdullah bin Saba’.
Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat berburuk sangka terhadap kepemimpinan Utsman adalah kebijaksanaannya mengangkat anggota keluarganya untuk menjabat posisi strategis. Yang terpenting di antaranya adalah Marwan bin Hakam Rahimahullah. Masyarakat pada masa itu melihat Marwan lah yang sebenarnya menjalankan roda pemerintahan, sedangkan Utsman bin Affan hanya menyandang gelar Khalifah saja. Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, Utsman terlihat seperti boneka di hadapan kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah terhadap keluarganya yang menjalankan roda pemerintahan, sehingga Utsman bin Affan dianggap lepas kendali terhadap beberapa kebijakan kerabatnya yang tidak disukai rakyat. Kondisi itulah yang dimanfaatkan Abdullah bin Saba’ untuk menebar fitnah dan hasutan kepada masyarakat untuk menjatuhkan Utsman, dan pada akhirnya Utsman bin Affan terbunuh oleh orang-orang yang termakan hasutan Abdullah bin Saba'. Meskipun begitu Utsman tercatat berjasa dalam membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Pada masa pemerintahannya tercatat Utsman banyak membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid dan memperluas masjid Nabi di Madinah.
Ali bin Abi Thalib
‘Alī bin Abī Thālib (Arab: علي بن أﺑﻲ طالب, Persia: علی پسر ابو طالب)
(lahir sekitar 13 Rajab 23 Pra Hijriah/599 – wafat 21 Ramadan 40
Hijriah/661), adalah salah seorang pemeluk Islam pertama dan juga
keluarga dari Nabi Muhammad. Menurut Islam Sunni, ia adalah Khalifah
terakhir dari Khulafaur Rasyidin (655-661M). Sedangkan Syi'ah
berpendapat bahwa ia adalah Imam sekaligus Khalifah pertama yang dipilih
oleh Rasulullah Muhammad SAW. Ali adalah sepupu dari Muhammad SAW, dan
setelah menikah dengan Fatimah az-Zahra, ia menjadi menantu Muhammad
SAW.
Ketika para pemberontak terus mengepung rumah Utsman. Ali bin Abi Thalib
memerintahkan ketiga puteranya, Hasan, Husain dan Muhammad bin Ali
al-Hanafiyah mengawal Utsman dan mencegah para pemberontak memasuki
rumah. Namun kekuatan yang sangat besar dari pemberontak akhirnya
berhasil menerobos masuk dan membunuh Khalifah Utsman bin Affan.
Setelah Utsman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Ali memerintah hanya enam tahun. Pada masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Masa pemerintahannya dapat dikatakan yang paling tidak stabil diantara para Khulafaur Rasyidin. Hal ini dikarenakan banyaknya masalah pelik yang bergejolak di dalam negeri sehingga memaksa khalifah Ali untuk menghabiskan waktu dan usahanya meredam pergolakan tersebut.
Setelah Utsman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Ali memerintah hanya enam tahun. Pada masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Masa pemerintahannya dapat dikatakan yang paling tidak stabil diantara para Khulafaur Rasyidin. Hal ini dikarenakan banyaknya masalah pelik yang bergejolak di dalam negeri sehingga memaksa khalifah Ali untuk menghabiskan waktu dan usahanya meredam pergolakan tersebut.
Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali menon-aktifkan para gubernur
yang diangkat oleh Utsman. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan
terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang
dihadiahkan Utsman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil
pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak
tahunan di antara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar.
Tidak lama setelah itu, Ali bin Abi Thalib menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau menghukum para pembunuh Utsman, dan mereka menuntut bela terhadap darah Utsman yang telah ditumpahkan secara zhalim. Ali enggan memberi hukuman dikarenakan ia enggan adanya peperangan sesama umat Islam. Dia lalu mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun ajakan tersebut ditolak, akibat tidak ada kata sepakat maka pertempuran yang dahsyat pun berkobar. Perang ini dikenal dengan nama Perang Jamal (Unta), karena Aisyah dalam pertempuran itu menunggang unta. Peperangan ini dimenangkan pihak Ali, sedangkan dari pihak Aisyah, dua sahabat Nabi, Zubair dan Thalhah harus meregang nyawa. Aisyah kemudian ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
Bersamaan dengan itu, ada beberapa kebijakan khalifah Ali yang mengakibatkan timbulnya perlawanan dari para gubernur di Damaskus, Mu'awiyah, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi karena merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan oleh khalifah Ali. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, Ali bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan pasukan Mu'awiyah di Shiffin. Pertempuran terjadi di sini yang dikenal dengan nama Perang Shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan munculnya golongan ketiga, kaum Khawarij, yaitu orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Akibatnya, di ujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik besar yang mengguncang kekhalifahan Ali, yaitu Mu'awiyah, Syi'ah (pengikut Abdullah bin Saba’ al-yahudu) yang menyusup pada barisan tentara Ali, dan al-Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali). Keadaan ini tidak menguntungkan Ali. Munculnya kelompok Khawarij menyebabkan tentaranya semakin lemah, sementara posisi Mu'awiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 ramadhan 40 H (661 M), Ali terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij yaitu Abdullah bin Muljam.
Tidak lama setelah itu, Ali bin Abi Thalib menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau menghukum para pembunuh Utsman, dan mereka menuntut bela terhadap darah Utsman yang telah ditumpahkan secara zhalim. Ali enggan memberi hukuman dikarenakan ia enggan adanya peperangan sesama umat Islam. Dia lalu mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun ajakan tersebut ditolak, akibat tidak ada kata sepakat maka pertempuran yang dahsyat pun berkobar. Perang ini dikenal dengan nama Perang Jamal (Unta), karena Aisyah dalam pertempuran itu menunggang unta. Peperangan ini dimenangkan pihak Ali, sedangkan dari pihak Aisyah, dua sahabat Nabi, Zubair dan Thalhah harus meregang nyawa. Aisyah kemudian ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
Bersamaan dengan itu, ada beberapa kebijakan khalifah Ali yang mengakibatkan timbulnya perlawanan dari para gubernur di Damaskus, Mu'awiyah, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi karena merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan oleh khalifah Ali. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, Ali bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan pasukan Mu'awiyah di Shiffin. Pertempuran terjadi di sini yang dikenal dengan nama Perang Shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan munculnya golongan ketiga, kaum Khawarij, yaitu orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Akibatnya, di ujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik besar yang mengguncang kekhalifahan Ali, yaitu Mu'awiyah, Syi'ah (pengikut Abdullah bin Saba’ al-yahudu) yang menyusup pada barisan tentara Ali, dan al-Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali). Keadaan ini tidak menguntungkan Ali. Munculnya kelompok Khawarij menyebabkan tentaranya semakin lemah, sementara posisi Mu'awiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 ramadhan 40 H (661 M), Ali terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij yaitu Abdullah bin Muljam.
Kekhalifahan Setelah Era Khulafaur Rasyidin
Kedudukan khalifah kemudian dijabat oleh purta Ali yaitu Hasan selama
beberapa bulan. Namun, karena Hasan menginginkan perdamaian dan
menghindari pertumpahan darah, maka Hasan menyerahkan jabatan
kekhalifahan kepada Muawiyah bin Abu Sufyan. Dan akhirnya penyerahan
kekuasaan ini dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam satu
kepemimpinan politik, di bawah Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Di sisi lain,
penyerahan itu juga menyebabkan Mu'awiyah menjadi penguasa absolut dalam
Islam. Tahun 661M, tahun persatuan itu, dikenal dalam sejarah sebagai
tahun jama'ah ('am jama'ah) Dengan demikian berakhirlah masa yang
disebut dengan masa Khulafa'ur Rasyidin, dan dimulailah kekuasaan Bani
Umayyah dalam sejarah politik Islam.
Pada masa kekhilafahan Bani Umayyah wilayah kekuasaan Islam berkembang
sangat luas. Ekspansi ke negeri-negeri yang sangat jauh dari pusat
kekuasaannya terjadi dalam waktu tidak lebih dari setengah abad. Hal ini
merupakan kemenangan menakjubkan dari suatu bangsa yang sebelumnya
tidak pernah mempunyai pengalaman politik yang memadai. Faktor-faktor
yang menyebabkan ekspansi itu demikian cepat antara lain adalah:
- Islam, disamping merupakan ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, juga agama yang mementingkan soal pembentukan masyarakat.
- Dalam dada para sahabat, tertanam keyakinan tebal tentang kewajiban menyerukan ajaran-ajaran Islam (dakwah) ke seluruh penjuru dunia. Semangat dakwah tersebut membentuk satu kesatuan yang padu dalam diri umat Islam.
- Bizantium dan Persia, dua kekuatan yang menguasai Timur Tengah pada waktu itu, mulai memasuki masa kemunduran dan kelemahan, baik karena sering terjadi peperangan antara keduanya maupun karena persoalan-persoalan dalam negeri masing-masing.
- Pertentangan aliran agama di wilayah Bizantium mengakibatkan hilangnya kemerdekaan beragama bagi rakyat. Rakyat tidak senang karena pihak kerajaan memaksakan aliran yang dianutnya. Mereka juga tidak senang karena pajak yang tinggi untuk biaya peperangan melawan Persia.
- Islam datang ke daerah-daerah yang dimasukinya dengan sikap simpatik dan toleran, tidak memaksa rakyat untuk mengubah agamanya untuk masuk Islam.
- Bangsa Sami di Syria dan Palestina dan bangsa Hami di Mesir memandang bangsa Arab lebih dekat kepada mereka daripada bangsa Eropa, Bizantium, yang memerintah mereka.
- Mesir, Syria dan Irak adalah daerah-daerah yang kaya. Kekayaan itu membantu penguasa Islam untuk membiayai ekspansi ke daerah yang lebih jauh.
Pada masa Abu Bakar sampai kepada Ali bin Abi Thalib, kekhilafahan
dinamakan sebagai periode Khilafah Rasyidah. Para khalifahnya disebut
al-Khulafa' al-Rasyidun, (khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk).
Ciri masa ini adalah para khalifah betul-betul merujuk teladan Nabi SAW.
Setelah periode Khilafah Rasyidah, pemerintahan Islam berbentuk
kerajaan / kesultanan. Layaknya sistem kerajaan pada umumnya, pada masa
ini kekuasaan diwariskan secara turun temurun.