Advertisement
Biografi dan Sejarah kepemimpinan
Khalifah Ali bin Abi Thalib
Latar Belakang
Beberapa hari setelah pembunuhan
Khalifah Usman bin Affan, stabilitas keamanan kota Madinah menjadi
rawan. Gafiqy bin Harb memegang keamanan ibu kota Islam itu selama
kira-kira lima hari sampai terpilihnya Khalifah yang baru. Kemudian Ali
bin Abi Thalib tampil menggantikan Usman, menerima baiat dari sejumlah
kaum Muslimin.
Setelah jabatan kekhalifahan jatuh ke
tangan Ali bin Abi Thalib dengan dukungan kaum pemberontak terhadap
Usman bin Affan unsur-unsur pertentangan dan persaingan yang sejak Nabi
wafat, berkecamuk dalam dada orang-orang yang dendam dan yang
menginginkan kekuasaan. Terutama yang datang dari pihak Umayah, yang
dikepalai oleh Mu’awiyah ini tak mungkin diselesaikan melalui jalan
damai. Karena itu, peranglah yang ditempuh oleh kedua belah pihak yaitu
pertempuran bersenjata yang terkenal dengan perang siffin.
Kemenangan dalam perang telah tampak
berada di pihak Ali. Untuk menghindari kekalahannya atas saran dari Amr
bin Ash Mu’awiyah memerintahkan supaya mushaf-mushaf Al-Qur’an diangkat
di atas tombak-tombak dengan seruan agar kedua belah pihak berhukum
kembali kepada Al-Qur’an. Ali mengetahui bahwa apa yang dilakukan oleh
Mu’awiyah itu hanya taktik dan tipu muslihat, untuk menghindari dari
kekalahan. Oleh karena itu, ia menolak gencatan senjata dan menyerukan
pengikutnya agar meneruskan peperangan. Namun mayoritas pengikutnya
menolak diteruskannya peperangan, dan menyeru gencatan senjata, untuk
memberi peluang bagi keberadaan arbitrasi. Tujuannya adalah untuk
mengakhiri pertikaian antara Ali dan Muawiyah.
Tetapi hal itu di tolak oleh Muawiyah,
dengan dalih bahwa Ali, enggan mengadili dan menghukum para pembunuh
Usman bin Affan, Ali yang semula menolak diadakannya arbitrasi yang
dianggapnya hanya sebagai taktik dan tipu muslihat akhirnya terpaksa
menerima diadakannya arbitrasi yang diusulkan Mu’awiyah itu. Tetapi
sebagian pengikutnya yang berhaluan keras, walaupun hanya merupakan
minoritas, menolak diadakannya arbitrasi. Sebagai konsekwensinya, mereka
meninggalkan barisan Ali, dan membangun kekuatan sendiri, yaitu dengan
nama Khawarij.[1]
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
Bagaimana Biografi Ali bin Abi Thalib dan bagaimana proses pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah?
Apa yang melatar belakangi khalifah Ali bin Abi Thalib mendapat tantangan dari Khawarij, Thalhah dan Muawiyah?
Biografi Khalifah Ali bin Abi Thalib
`Ali bin Abi Thalib lahir (Mekah,
603-Kufah, 17 Ramadhan 40/24 Januari 661). Khalifah keempat terakhir
dari al-Khulafa ar-Rasyidin (empat khalifah besar); orang pertama yang
masuk Islam dari kalangan anak-anak, sepupu Nabi saw. yang kemudian
menjadi menantunya. Ayahnya, Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasim bin
Abdul Manaf, adalah kakak kandung ayah Nabi saw. Abdullah bin Abdul
Mutholib. Ibunya bernama Fatimah binti As’at bin Hasyim bin Abdul Manaf.
Sewaktu lahir dia di beri nama Haidarah oleh ibunya. Namun kemudian di
ganti ayahnya dengan Ali.
Ketika berusia enam tahun, ia diambil
sebagai anak asuh oleh Nabi saw. sebagaimana Nabi saw. pernah diasuh
oleh ayahnya. Pada waktu Muhammad saw. diangkat menjadi Rasul, Ali baru
menginjak usia 8 tahun. Ia adalah orang kedua yang menerima dakwah
Islam, setelah Khadijah binti Khuwailid, istri Nabi saw. Sejak itu ia
selalu bersama Rasulullah saw, taat kepadanya dan banyak menyaksikan
Rasulullah saw, menerima wahyu. Ia anak asuh Rasulullah saw, ia banyak
menimba ilmu mengenai rahasia ketuhanan maupun segala persoalan
keagamaan secara teoritis dan praktis.
Sewaktu Rasulullah hijrah ke Madinah
bersama Abu Bakar al-Siddiq, Ali diperintahkan untuk tetap tinggal di
rumah Rasulullah saw. dan tidur di tempat tidurnya. ini dimaksudkan
untuk memperdaya kaum Quraisy, supaya mereka menyangka bahwa Nabi masih
berada di rumahnya. Ketika itu kaum Quraisy merencanakan untuk membunuh
Nabi saw. Ali juga ditugaskan untuk mengembalikan sejumblah barang
titipan kepada pemilik masing-masing. Ali mampu melaksanakan tugas yang
penuh resiko itu dengan sebaik-baiknya tanpa sedikitpun merasa takut.
Melalui cara itu Rasulullah saw. dan Abu Bakar selamat meninggalkan kota
Mekah tanpa diketahui oleh kaum Quraisy.
Setelah mendengar Rasulullah saw. dan
Abu Bakar telah sampai ke Madinah, Ali menyusul ke sana. Di Madinah ia
dikawinkan dengan Fatimah az-Zahra, putri Rasulullah saw. yang ketika
itu tahun ke 2 H beliau berusia 15 tahun.
Ali menikah dengan sembilan wanita dan
mempunyai 19 orang putra-putri. Fatimah adalah istri pertama. Dari
fatimah, Ali mendapat dua putra dan dua putri. Yaitu Hasan, Husein,
Zainab dan Ummu Kalsum yang kemudian diperistri oleh Umar bin Khattab.
Setelah Fatimah wafat Ali menikah lagi berturut-turut dengan:
Ummu Bamin bin Hisyam dari bani Amir bin Kilab, yang melahirkan empat putra yaitu Abbas, Ja’far, Abdullah dan Usman.
Laila binti Mas’ud at-Tamimyah yang melahirkan dua putra yaitu Abdullah dan Abu Bakar.
Asma binti Umar al-Quimiah, yang melahirkan dua putra yaitu Yahya dan Muhammad.
as-Sahbah binti Rabiah dari bani Jasyim bin Bakar, seorang janda dari Bani Taglab, yang melahirkan dua anak, Umar dan Ruqayyah.
Umamah binti Abi Ass bin ar-Arrab, putri Zainab binti Rasulullah saw. yang melahirkan satu anak yaitu Muhammad.
Khanlah binti Ja’far al-Hanafiah, yang melahirkan seorang putra, yaitu Muhammad (al-Hanafiah).
Ummu Sa’id binti Urwah bin Mas’ud, yang melahirkan dua anak, yaitu Ummu al-Husain dan Ramlah.
Mahyah binti Imri’ al-Qais al-Kabiah, yang melahirkan seorang anak bernama Jariah.
Ali terkenal sebagai panglima perang
yang gagah perkasa. Keberaniannya menggetarkan hati lawan-lawannya. Ia
mempunyai sebilah pedang (warisan dari Nabi saw.) bernama “Zulfikar”. Ia
turut serta pada hampir semua peperangan yang terjadi di masa Nabi saw.
dan selalu menjadi andalan pada barisan depan.
Ia juga dikenal cerdas dan menguasai
banyak masalah keagamaan secara mendalam sebagaimana tergambar dari
sabda Nabi saw. “aku adalah kotanya ilmu pengetahuan sedang Ali sebagai
pintu gerbangnya”. Karena itu, nasehat dan fatwanya selalu di dengar
para Khalifah sebelumnya. Ia selalu di tempatkan pada jabatan kadi atau
Mufti.[2]
Ali diberi juga julukan (gelar)
Abutturab (arti letterliknya “pak tanah”) dijuluki demikian, karena pada
suatu saat ia tidur di Masjid, pakainya terlepas dari badan, hingga ia
tidur di atas tanah tanpa alas. Kemudian ia dibangunkan oleh Nabi,
sambil berkata, “bangunlah, hai Abutturab” dan gelar itulah tampaknya
amat di sukainya.
Dialah seorang anak kecil yang mula
pertama membenarkan tindak tanduk Nabi saw. dan masuk Islam sedang
umurnya baru menginjak delapan tahun. Berarti ia memiliki jiwa yang
tidak dikotori oleh keadaan-keadaan jahiliah dan satu kalipun tidak
pernah ikut menyembah berhala, karena itu kepadanya disebutkan:
“Karramallahu Wajahahu” yang artinya: semoga Allah memuliakan Wajahnya,
sementara kepada para sahabat lainnya hanya disebutkan “Radliallahu
‘Anhu” yang artinya, semoga Allah Meridhoinya.
Ali terkenal sebagai seorang yang
tidak mencintai dunia meskipun bila ia mau, peluang untuk itu sangatlah
mudah. Ia ahli dalam berpidato, memiliki sastra dan juga bahasa yang
indah dengan lidah yang fasih. Ia juga hafal Al-Qur’an serta
mengumpulkannya dan membetulkannya di hadapan Nabi.
Ali adalah orang pertama dari golongan
Bani Hashim yang menjadi khalifah, seorang yang mula-mula meletakkan
dasar ilmu Nahwu atau Gramatika Bahasa Arab. Dia juga yang diserahi
untuk melakukan perang tanding pada permulaan dan pendahuluan perang
Sabil yang pertama, yaitu perang Badar. Pantaslah kalau ia termasuk
kelompok sepuluh yang disebutkan oleh Nabi yang dijamin masuk surga.
Ali bin Abi Thalib juga seorang yang
mendapat kehormatan dan kepercayaan Nabi saw. dengan mengutusnya ke
Negeri Yaman, ketika usianya masi sangat muda belia, tapi ia di do’akan
oleh Nabi : “Ya Tuhan, pimpinlah hatinya dan tetapkanlah lidahnya”
sehingga seluruh sahabat mengakui bahwa Ali-lah orang yang dipandang
lebih mengetahui tentang Hukum dan Peradilan.
Ali juga pernah mendapat kehormatan
untuk menjabat sebagai wakil Nabi yaitu menjadi Wali Kota Madinah ketika
Nabi pergi bersama Jaisu Usrah diperang Tabuk. Ketika Ali berkata
kepada Nabi, “Ya Rasulullah, mengapa tuan tinggalkan saya bersama
orang-orang perempuan dan anak-anak”? lalu dijawab oleh Nabi,
اِنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ لِعَلٍّى : أَنْتَ مِنِّى بِمَنْزِلَةِ هَارُوْنَ مِنْ
مُّوْسَى اِلَّااَّنَهُ لَانَبِيَّ بَعْدِى
Terjemahan :“Bahwasanya Nabi saw
berkata kepada Ali: “Enkau bagiku seperti Nabi Harun menempati posisi
Nabi Musa”, kecuali sesungguhnya tidak ada lagi Nabi sesudahku.” (H.R.
Ahmad dan Bazzar).[3]
Jadi ia mengikuti semua perang sabil
yang di lakukan oleh Nabi kecuali perang tabuk ia bertugas di Madinah.
Sebagai seorang sahabat Nabi, ia juga memiliki kemauan dan kelebihan. Ia
adalah seorang yang pemurah, dermawan rendah hati, ramah tamah, jujur,
amanah (dapat dipercaya) qana’ah (mencakup dengan apa yang ada dengan
tidak berlebih-lebihan), adil disiplin dan banyak lagi.[4]
Pemerintahan dan Situasi Politik Pada Masa Ali bin Abi Thalib
1. Situasi Politik menjelang pengangkatan Ali bin Abi Thalib
Situasi politik menjelang pengangkatan
Ali bin Abi Thalib cukup rawan mengingat Usman terbunuh di tangan
pemberontak. Pada kesempatan tersebut, Ibn Harb memegang kendali
keamanan kota Madinah sampai terpilihnya seorang Khalifah yang baru.
Segera setelah terbunuhnya Usman, kaum
muslimin meminta kesediaan Ali untuk dibaiat menjadi Khalifah. Mereka
beranggapan bahwa kecuali Ali, tidak ada lagi orang yang patut menduduki
kursi Khalifah setelah Usman. Mendengar permintaan rakyat banyak itu,
Ali berkata, “Urusan ini bukan urusan kalian. Ini adalah perkara yang
teramat penting, urusan tokoh-tokoh Ahl asy-Syura” bersama para pejuang
Perang Badar.[5]
Pengangkatan Syaidina Ali menjadi
Khalifah tidaklah sebagaimana yang dilakukan terhadap Abu Bakar dan
Umar, sebab hanya orang-orang yang Pro terhadap Ali yang melakukan Baiat
(penobatan) itu. Ali memegang jabatan pada hari Jum’at 13 Zulhijjah 35
Hijriah, dan orang yang pertama kali melakukan baiat terhadap Syaidina
Ali adalah Thalhah yang akhirnya justru memihak Mu’awiyah.[6]
Setelah pembaiatan, Ali mengucapkan
pidato yang isinya antara lain: “Wahai manusia, kamu telah membaiat saya
sebagaimana yang telah dilakukan kepada Khalifah-khalifah yang dahulu
dari padaku. Saya hanya menolak sebelum jatuh pilihan, apabila pilihan
telah jatuh, menolak tidak boleh lagi. Imam harus teguh dan rakyat harus
patuh. Baiat terhadap diriku ini adalah yang rata, yang umum. Barang
siapa yang mungkir dari padanya terpisahlah ia dari agama Islam.[7]
Banyaknya peperangan yang terjadi pada
masa pemerintahan Ali dan yang terpenting adalah dua hal, yaitu
peperangan jamal (unta) dan peperangan Siffin.[8]
2. Prinsip Politik Ali bin Abi Thalib
Prinsip Politik Ali tergambar bahwa ia
seorang yang berani, yang memiliki kepribadian yang mulia bahkan
sebagai seorang anak asuh Rasulullah ia banyak menerima ilmu mengenai
rahasia ketuhanan maupun segala persoalan keagamaan secara teoritis dan
praktis. Sebagaimana telah disebutkan terdahulu, ia mengikuti Rasulullah
sejak kecil baik dalam suka dan duka, dan tentunya hal tersebut
mempengaruhi dalam melaksanakan pemerintahannya.[9] Meskipun di belakang
hari ia tidak mampu untuk mengembalikan pemerintahan sebagaimana
Rasulullah karena situasinya yang cukup berbeda. Hal yang menonjol
prinsip Ali adalah kompromi politik, hal tersebut tergambar pada saat
pemberontakan Thalhah dan sekutu-sekutunya.
3. Kebijakan Politik Ali bin Abi Thalib
Tindakan dan kebijaksanaan Ali setelah
resmi memegang jabatan Khalifah adalah memberhentikan semua gubernur
yang diangkat oleh Usman, termasuk Mu’awiyah, dengan mengangkat
pejabat-pejabat baru. Tanah-tanah yang dibagikan di zaman Usman kepada
keluarganya ditarik kembali. Khalifah Ali juga menerapkan pengawasan
yang sangat ketat agar tidak terjadi penyelewengan oleh para pejabat
pemerintah. Ternyata para pejabat baru yang diangkat oleh Ali
menimbulkan Pro dan Kontra di kalangan rakyat daerah. Ada yang menerima
dan ada pula yang menolak, serta ada yang bersikap netral seperti Mesir
dan Basrah. Penggantian para pejabat baru ini dilakukan oleh Ali pada
awal tahun 36 Hijriyah.[10]
Pemerintahan Ali juga berhasil
memperluas wilayah kekuasaan setelah pemberontakan di Kabul dan Sistan
ditumpas, ia juga mendirikan pemukiman-pemukiman meliter perbatasan
Syria dan membangun benteng-benteng yang kuat di utara perbatasan
Parsi.[11]
Dalam pengelolaan uang negara Khalifah
Ali mengikuti prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh khalifah Umar, harta
rakyat dikembalikan kepada rakyat. sikap jujur dan adil yang diterapkan
oleh Ali ini, menimbulkan amarah di antara sejumblah pendukungnya
sendiri dan kemudian berpihak kepada Mu’awiyah. Khalifah Ali juga
menberi contoh mengenai persamaan di depan hukum dan peradilan, hal ini
menunjukkan bahwa prinsip persamaan semua lapisan sosial dan etnik di
depan hukum, dan peradilan bebas diteruskan oleh Ali sebagaimana pada
masa-masa sebelum sejak masa Rasulullah.
Latar Belakang Adanya Tantangan dari Khawarij, Thalhah dan Mu’awiyah
Pemerintahan Ali bin Abi Thalib dengan
kebijakan-kebijakannya untuk memulihkan situasi umat Islam tidaklah
mulus mengingat Thalhah, Khawarij dan Mu’awiyah, menuntut agar kasus
pembunuhan Khalifah Usman segera ditangkap dan mereka segera dibawa ke
meja hijau. Namun tuntutan mereka itu tidak dikabulkan oleh Ali dengan
beberapa alasan: Pertama Karena tugas utama yang mendesak dilakukan
dalam situasi kritis yang penuh intimidasi seperti saat itu ialah
memulihkan ketertiban dan mengkonsolidasikan kedudukan-kedudukan
Khalifah. Kedua Menghukum para pembunuh bukanlah perkara mudah. Khalifah
Usman tidak di bunuh oleh hanya satu orang saja, melainkan banyak orang
yang melakukan pembunuhan tersebut.[12]
Dia pun menghindari pertikaian dengan
Thalhah dan sekutunya. Tetapi tampaknya penyelesaian damai sulit untuk
di capai. Maka kontak senjata pun tak dapat dielakkan lagi, sehingga
Thalhah dan Zubair terbunuh sedangkan Aisyah dikembalikan ke Madinah.
Peperangan ini terkenal dengan nama “waqi’ah al-Jamal” (perang
Unta/Jamal) yang terjadi pada tahun 36 Hijriyah, dalam peperangan itu,
pihak Ali bin Abi Thalib memperoleh kemenangan.
Tantangan selanjutnya muncul dari
Mu’awiyah, yang tidak menerima pemberhentiannya, yang pada akhirnya
terjadi peperangan antara pasukan Mu’awiyah dan pasukan Ali bin Abi
Thalib di Siffin. Ali bin Abi Thalib pada mulanya tidak menginginkan
terjadinya pertempuran tersebut, tetapi Mu’awiyah tak mengindahkannya
sehingga mengakibatkan jatuhnya banyak korban dari kedua belah pihak.
Namun pada akhirnya pertempuran tersebut dapat dihentikan dengan meminta
diadakannya perdamaian antara kedua belah pihak dengan cara mengangkat
kitab suci Al-Qur’an sebagai symbol perdamaian. Kelicikan Mu’awiyah ini
disambut baik oleh Khalifah Ali dengan mengadakan gencatan senjata.
Kedua belah pihak mengambil jalan Tahkim (arbitrase) untuk mengakhiri
pertempuran, masing-masing pihak mengangkat satu wakil untuk mengadakan
perundingan, dari pihak Mu’awiyah di utus Amr bin Ash sedangkan dari
pihak Ali mengangkat Abu Musa al-Asy’ari sebagai wakil.
Dari pertemuan mereka, diputuskan
bahwa Mu’awiyah dan Ali bin Abi Thalib harus melepaskan jabatannya.
Namun setelah Abu Musa al-Asy’ari mengumumkan untuk meletakkan jabatan
Ali bin Abi Thalib dan Amr bin Ash justru menolak menjatuhkan Mu’awiyah.
Peristiwa Tahkim secara politik merugikan pihak Ali.
Keputusan Ali untuk mengadakan tahkim
pun telah menuai protes dari sebagian pasukannya, yang kemudian keluar
dari pasukan Ali dan dikenal dengan nama “Khawarij”. Mereka berpegang
pada prinsip bahwa kebenaran yang sesungguhnya itu bukanlah semata-mata
hanya berada ditangan manusia. Sebagaimana mereka berberpegang pada
firman Allah Qs. al-Maidah (5) : 44
Terjamahan : Sungguh, kami yang
menurunkan Kitab Taurat, di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya. Yang
dengan Kitab itu para Nabi yang berserah diri kepada Allah memberi
putusan atas perkara orang Yahudi, demikian juga para ulama dan
pendeta-pendeta mereka, sebab mereka diperintahkan memelihara
kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu
janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan
janganlah kamu jual ayat-ayat-Ku dengan harga murah. Barang siapa tidak
memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah
orang-orang kafir.[13]
Dengan pandangan kaum Khawarij
tersebut, mereka merencanakan untuk membunuh tokoh-tokoh yang ikut dalam
peristiwa Tahkim, dan hal ini telah berhasil membunuh Ali pada tahun 40
H, ketika Ali menuju ke Masjid hendak mengimami shalat berjama’ah
Subuh.[14]
Ali ra. Terbunuh pada malam Jum’at
waktu sahur pada tanggal 17 Ramadhan tahun 40 H. Ada yang mengatakan
pada bulan Rabi’ul Awwal. Namun pendapat pertama lebih shahih dan
populer.
Ali ra. ditikam pada hari Jum’at 17
Ramadhan tahun 40 H, tanpa ada perselisihan. Ada yang mengatakan bahwa
dia wafat pada hari dia di tikam, ada juga yang mengatakan pada hari
Ahad tanggal 19 Ramadhan.
Al-fallas berkata, “Ada yang
mengatakan, dia ditikam pada malam dua puluh satu Ramadhan dan wafat
pada malam dua puluh empat dalam usia 58 atau 59 tahun.
Ada yang mengatakan, dia wafat dalam
usia 63 tahun. Itulah pendapat yang masyhur, demikian di tuturkan oleh
Muhammad bin al-Hanafiyah, Abu Ja’far al-Baqir, Abu Ishaq as-Sabi’i dan
Abu Bakar bin Ayasy. Sebagian ulama lain mengatakan, wafat dalam usia 63
atau 64 tahun. Diriwayatkan dari Abu Ja’far al-Baqir, katanya, “wafat
dalam usia 64 tahun.”
Masa kekhalifaan Ali bin Abi Thalib
lima tahun kurang tiga bulan. Ada yang mengatakan empat tahun sembilan
bulan tiga hari. Ada yang mengatakan empat tahun delapan bulan dua puluh
tiga hari.
Secara umum prestasi Khulafa’
al-Rasyidin dalam hal perluasan wilayah, diawali pada masa Abu Bakar dan
mencapai titik tertingginya pada masa Umar dan relativ berhenti pada
masa Ali yang kekhalifaannya lebih banyak diliputi oleh banyak
pertikaian internal sehingga tidak memungkinkan ekspansi lebih jauh.
Pada akhir satu generasi pasca Muhammad, inperium Islam telah membenteng
dari Oxus hingga Syrtis di Afrika sebelah Utara.[15]
Demikian gambaran tentang kepemimpinan
Khulafa al-Rasyidin yang kemudian menjadi inspirasi bagi sebagian orang
untuk mendirikan Negara Islam, namun dalam waktu yang bersamaan justru
kepemimpinan tersebut dipahami sebagai dasar demokrasi tanpa harus
memformalkan dalam bentuk Negara Islam.
Kesimpulan
Setelah Usman terbunuh Ali bin Abi
Thalib pun ditunjuk sebagai Khalifah keempat. Namun perjalanan
kekhalifaan Ali tidaklah berjalan mulus, karena munculnya banyak tekanan
akibat pembunuhan Khalifah Usman bin Affan.
Kebijakan Ali bin Abi Thalib dalam
rangka pemulihan stabilitas pemerintahan justru kemudian memicu
pemberontakan baru seperti penggantian Umaiyyah. Selanjutnya dalam
internal pasukan Ali sendiri muncul pemberontakan akibat adanya
arbitrase antara Ali dan Mu’awiyah, kelompok ini yang kemudian dikenal
dengan Khawarij yang di belakang hari mereka membunuh Ali.
Catatn kaki