Sabtu, 15 September 2018

Biografi dan Sejarah kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib

Advertisement
Biografi dan Sejarah kepemimpinan 
Khalifah Ali bin Abi Thalib
Latar Belakang
Beberapa hari setelah pembunuhan Khalifah Usman bin Affan, stabilitas keamanan kota Madinah menjadi rawan. Gafiqy bin Harb memegang keamanan ibu kota Islam itu selama kira-kira lima hari sampai terpilihnya Khalifah yang baru. Kemudian Ali bin Abi Thalib tampil menggantikan Usman, menerima baiat dari sejumlah kaum Muslimin.
Setelah jabatan kekhalifahan jatuh ke tangan Ali bin Abi Thalib dengan dukungan kaum pemberontak terhadap Usman bin Affan unsur-unsur pertentangan dan persaingan yang sejak Nabi wafat, berkecamuk dalam dada orang-orang yang dendam dan yang menginginkan kekuasaan. Terutama yang datang dari pihak Umayah, yang dikepalai oleh Mu’awiyah ini tak mungkin diselesaikan melalui jalan damai. Karena itu, peranglah yang ditempuh oleh kedua belah pihak yaitu pertempuran bersenjata yang terkenal dengan perang siffin.
Kemenangan dalam perang telah tampak berada di pihak Ali. Untuk menghindari kekalahannya atas saran dari Amr bin Ash Mu’awiyah memerintahkan supaya mushaf-mushaf Al-Qur’an diangkat di atas tombak-tombak dengan seruan agar kedua belah pihak berhukum kembali kepada Al-Qur’an. Ali mengetahui bahwa apa yang dilakukan oleh Mu’awiyah itu hanya taktik dan tipu muslihat, untuk menghindari dari kekalahan. Oleh karena itu, ia menolak gencatan senjata dan menyerukan pengikutnya agar meneruskan peperangan. Namun mayoritas pengikutnya menolak diteruskannya peperangan, dan menyeru gencatan senjata, untuk memberi peluang bagi keberadaan arbitrasi. Tujuannya adalah untuk mengakhiri pertikaian antara Ali dan Muawiyah.
Tetapi hal itu di tolak oleh Muawiyah, dengan dalih bahwa Ali, enggan mengadili dan menghukum para pembunuh Usman bin Affan, Ali yang semula menolak diadakannya arbitrasi yang dianggapnya hanya sebagai taktik dan tipu muslihat akhirnya terpaksa menerima diadakannya arbitrasi yang diusulkan Mu’awiyah itu. Tetapi sebagian pengikutnya yang berhaluan keras, walaupun hanya merupakan minoritas, menolak diadakannya arbitrasi. Sebagai konsekwensinya, mereka meninggalkan barisan Ali, dan membangun kekuatan sendiri, yaitu dengan nama Khawarij.[1]
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
Bagaimana Biografi Ali bin Abi Thalib dan bagaimana proses pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah?
 
Apa yang melatar belakangi khalifah Ali bin Abi Thalib mendapat tantangan dari Khawarij, Thalhah dan Muawiyah?
Biografi Khalifah Ali bin Abi Thalib
`Ali bin Abi Thalib lahir (Mekah, 603-Kufah, 17 Ramadhan 40/24 Januari 661). Khalifah keempat terakhir dari al-Khulafa ar-Rasyidin (empat khalifah besar); orang pertama yang masuk Islam dari kalangan anak-anak, sepupu Nabi saw. yang kemudian menjadi menantunya. Ayahnya, Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasim bin Abdul Manaf, adalah kakak kandung ayah Nabi saw. Abdullah bin Abdul Mutholib. Ibunya bernama Fatimah binti As’at bin Hasyim bin Abdul Manaf. Sewaktu lahir dia di beri nama Haidarah oleh ibunya. Namun kemudian di ganti ayahnya dengan Ali.
Ketika berusia enam tahun, ia diambil sebagai anak asuh oleh Nabi saw. sebagaimana Nabi saw. pernah diasuh oleh ayahnya. Pada waktu Muhammad saw. diangkat menjadi Rasul, Ali baru menginjak usia 8 tahun. Ia adalah orang kedua yang menerima dakwah Islam, setelah Khadijah binti Khuwailid, istri Nabi saw. Sejak itu ia selalu bersama Rasulullah saw, taat kepadanya dan banyak menyaksikan Rasulullah saw, menerima wahyu. Ia anak asuh Rasulullah saw, ia banyak menimba ilmu mengenai rahasia ketuhanan maupun segala persoalan keagamaan secara teoritis dan praktis.
Sewaktu Rasulullah hijrah ke Madinah bersama Abu Bakar al-Siddiq, Ali diperintahkan untuk tetap tinggal di rumah Rasulullah saw. dan tidur di tempat tidurnya. ini dimaksudkan untuk memperdaya kaum Quraisy, supaya mereka menyangka bahwa Nabi masih berada di rumahnya. Ketika itu kaum Quraisy merencanakan untuk membunuh Nabi saw. Ali juga ditugaskan untuk mengembalikan sejumblah barang titipan kepada pemilik masing-masing. Ali mampu melaksanakan tugas yang penuh resiko itu dengan sebaik-baiknya tanpa sedikitpun merasa takut. Melalui cara itu Rasulullah saw. dan Abu Bakar selamat meninggalkan kota Mekah tanpa diketahui oleh kaum Quraisy.
Setelah mendengar Rasulullah saw. dan Abu Bakar telah sampai ke Madinah, Ali menyusul ke sana. Di Madinah ia dikawinkan dengan Fatimah az-Zahra, putri Rasulullah saw. yang ketika itu tahun ke 2 H beliau berusia 15 tahun.
Ali menikah dengan sembilan wanita dan mempunyai 19 orang putra-putri. Fatimah adalah istri pertama. Dari fatimah, Ali mendapat dua putra dan dua putri. Yaitu Hasan, Husein, Zainab dan Ummu Kalsum yang kemudian diperistri oleh Umar bin Khattab. Setelah Fatimah wafat Ali menikah lagi berturut-turut dengan:
Ummu Bamin bin Hisyam dari bani Amir bin Kilab, yang melahirkan empat putra yaitu Abbas, Ja’far, Abdullah dan Usman.
Laila binti Mas’ud at-Tamimyah yang melahirkan dua putra yaitu Abdullah dan Abu Bakar.
Asma binti Umar al-Quimiah, yang melahirkan dua putra yaitu Yahya dan Muhammad.
as-Sahbah binti Rabiah dari bani Jasyim bin Bakar, seorang janda dari Bani Taglab, yang melahirkan dua anak, Umar dan Ruqayyah.
Umamah binti Abi Ass bin ar-Arrab, putri Zainab binti Rasulullah saw. yang melahirkan satu anak yaitu Muhammad.
Khanlah binti Ja’far al-Hanafiah, yang melahirkan seorang putra, yaitu Muhammad (al-Hanafiah).
Ummu Sa’id binti Urwah bin Mas’ud, yang melahirkan dua anak, yaitu Ummu al-Husain dan Ramlah.
Mahyah binti Imri’ al-Qais al-Kabiah, yang melahirkan seorang anak bernama Jariah.
Ali terkenal sebagai panglima perang yang gagah perkasa. Keberaniannya menggetarkan hati lawan-lawannya. Ia mempunyai sebilah pedang (warisan dari Nabi saw.) bernama “Zulfikar”. Ia turut serta pada hampir semua peperangan yang terjadi di masa Nabi saw. dan selalu menjadi andalan pada barisan depan.
Ia juga dikenal cerdas dan menguasai banyak masalah keagamaan secara mendalam sebagaimana tergambar dari sabda Nabi saw. “aku adalah kotanya ilmu pengetahuan sedang Ali sebagai pintu gerbangnya”. Karena itu, nasehat dan fatwanya selalu di dengar para Khalifah sebelumnya. Ia selalu di tempatkan pada jabatan kadi atau Mufti.[2]
Ali diberi juga julukan (gelar) Abutturab (arti letterliknya “pak tanah”) dijuluki demikian, karena pada suatu saat ia tidur di Masjid, pakainya terlepas dari badan, hingga ia tidur di atas tanah tanpa alas. Kemudian ia dibangunkan oleh Nabi, sambil berkata, “bangunlah, hai Abutturab” dan gelar itulah tampaknya amat di sukainya.
Dialah seorang anak kecil yang mula pertama membenarkan tindak tanduk Nabi saw. dan masuk Islam sedang umurnya baru menginjak delapan tahun. Berarti ia memiliki jiwa yang tidak dikotori oleh keadaan-keadaan jahiliah dan satu kalipun tidak pernah ikut menyembah berhala, karena itu kepadanya disebutkan: “Karramallahu Wajahahu” yang artinya: semoga Allah memuliakan Wajahnya, sementara kepada para sahabat lainnya hanya disebutkan “Radliallahu ‘Anhu” yang artinya, semoga Allah Meridhoinya.
Ali terkenal sebagai seorang yang tidak mencintai dunia meskipun bila ia mau, peluang untuk itu sangatlah mudah. Ia ahli dalam berpidato, memiliki sastra dan juga bahasa yang indah dengan lidah yang fasih. Ia juga hafal Al-Qur’an serta mengumpulkannya dan membetulkannya di hadapan Nabi.
Ali adalah orang pertama dari golongan Bani Hashim yang menjadi khalifah, seorang yang mula-mula meletakkan dasar ilmu Nahwu atau Gramatika Bahasa Arab. Dia juga yang diserahi untuk melakukan perang tanding pada permulaan dan pendahuluan perang Sabil yang pertama, yaitu perang Badar. Pantaslah kalau ia termasuk kelompok sepuluh yang disebutkan oleh Nabi yang dijamin masuk surga.
Ali bin Abi Thalib juga seorang yang mendapat kehormatan dan kepercayaan Nabi saw. dengan mengutusnya ke Negeri Yaman, ketika usianya masi sangat muda belia, tapi ia di do’akan oleh Nabi : “Ya Tuhan, pimpinlah hatinya dan tetapkanlah lidahnya” sehingga seluruh sahabat mengakui bahwa Ali-lah orang yang dipandang lebih mengetahui tentang Hukum dan Peradilan.
Ali juga pernah mendapat kehormatan untuk menjabat sebagai wakil Nabi yaitu menjadi Wali Kota Madinah ketika Nabi pergi bersama Jaisu Usrah diperang Tabuk. Ketika Ali berkata kepada Nabi, “Ya Rasulullah, mengapa tuan tinggalkan saya bersama orang-orang perempuan dan anak-anak”? lalu dijawab oleh Nabi,
اِنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِعَلٍّى : أَنْتَ مِنِّى بِمَنْزِلَةِ هَارُوْنَ مِنْ مُّوْسَى اِلَّااَّنَهُ لَانَبِيَّ بَعْدِى
Terjemahan :“Bahwasanya Nabi saw berkata kepada Ali: “Enkau bagiku seperti Nabi Harun menempati posisi Nabi Musa”, kecuali sesungguhnya tidak ada lagi Nabi sesudahku.” (H.R. Ahmad dan Bazzar).[3]
Jadi ia mengikuti semua perang sabil yang di lakukan oleh Nabi kecuali perang tabuk ia bertugas di Madinah. Sebagai seorang sahabat Nabi, ia juga memiliki kemauan dan kelebihan. Ia adalah seorang yang pemurah, dermawan rendah hati, ramah tamah, jujur, amanah (dapat dipercaya) qana’ah (mencakup dengan apa yang ada dengan tidak berlebih-lebihan), adil disiplin dan banyak lagi.[4]
 
Pemerintahan dan Situasi Politik Pada Masa Ali bin Abi Thalib
1. Situasi Politik menjelang pengangkatan Ali bin Abi Thalib
 
Situasi politik menjelang pengangkatan Ali bin Abi Thalib cukup rawan mengingat Usman terbunuh di tangan pemberontak. Pada kesempatan tersebut, Ibn Harb memegang kendali keamanan kota Madinah sampai terpilihnya seorang Khalifah yang baru.
Segera setelah terbunuhnya Usman, kaum muslimin meminta kesediaan Ali untuk dibaiat menjadi Khalifah. Mereka beranggapan bahwa kecuali Ali, tidak ada lagi orang yang patut menduduki kursi Khalifah setelah Usman. Mendengar permintaan rakyat banyak itu, Ali berkata, “Urusan ini bukan urusan kalian. Ini adalah perkara yang teramat penting, urusan tokoh-tokoh Ahl asy-Syura” bersama para pejuang Perang Badar.[5]
Pengangkatan Syaidina Ali menjadi Khalifah tidaklah sebagaimana yang dilakukan terhadap Abu Bakar dan Umar, sebab hanya orang-orang yang Pro terhadap Ali yang melakukan Baiat (penobatan) itu. Ali memegang jabatan pada hari Jum’at 13 Zulhijjah 35 Hijriah, dan orang yang pertama kali melakukan baiat terhadap Syaidina Ali adalah Thalhah yang akhirnya justru memihak Mu’awiyah.[6]
Setelah pembaiatan, Ali mengucapkan pidato yang isinya antara lain: “Wahai manusia, kamu telah membaiat saya sebagaimana yang telah dilakukan kepada Khalifah-khalifah yang dahulu dari padaku. Saya hanya menolak sebelum jatuh pilihan, apabila pilihan telah jatuh, menolak tidak boleh lagi. Imam harus teguh dan rakyat harus patuh. Baiat terhadap diriku ini adalah yang rata, yang umum. Barang siapa yang mungkir dari padanya terpisahlah ia dari agama Islam.[7]
Banyaknya peperangan yang terjadi pada masa pemerintahan Ali dan yang terpenting adalah dua hal, yaitu peperangan jamal (unta) dan peperangan Siffin.[8]
2. Prinsip Politik Ali bin Abi Thalib
Prinsip Politik Ali tergambar bahwa ia seorang yang berani, yang memiliki kepribadian yang mulia bahkan sebagai seorang anak asuh Rasulullah ia banyak menerima ilmu mengenai rahasia ketuhanan maupun segala persoalan keagamaan secara teoritis dan praktis. Sebagaimana telah disebutkan terdahulu, ia mengikuti Rasulullah sejak kecil baik dalam suka dan duka, dan tentunya hal tersebut mempengaruhi dalam melaksanakan pemerintahannya.[9] Meskipun di belakang hari ia tidak mampu untuk mengembalikan pemerintahan sebagaimana Rasulullah karena situasinya yang cukup berbeda. Hal yang menonjol prinsip Ali adalah kompromi politik, hal tersebut tergambar pada saat pemberontakan Thalhah dan sekutu-sekutunya.
3. Kebijakan Politik Ali bin Abi Thalib
Tindakan dan kebijaksanaan Ali setelah resmi memegang jabatan Khalifah adalah memberhentikan semua gubernur yang diangkat oleh Usman, termasuk Mu’awiyah, dengan mengangkat pejabat-pejabat baru. Tanah-tanah yang dibagikan di zaman Usman kepada keluarganya ditarik kembali. Khalifah Ali juga menerapkan pengawasan yang sangat ketat agar tidak terjadi penyelewengan oleh para pejabat pemerintah. Ternyata para pejabat baru yang diangkat oleh Ali menimbulkan Pro dan Kontra di kalangan rakyat daerah. Ada yang menerima dan ada pula yang menolak, serta ada yang bersikap netral seperti Mesir dan Basrah. Penggantian para pejabat baru ini dilakukan oleh Ali pada awal tahun 36 Hijriyah.[10]
Pemerintahan Ali juga berhasil memperluas wilayah kekuasaan setelah pemberontakan di Kabul dan Sistan ditumpas, ia juga mendirikan pemukiman-pemukiman meliter perbatasan Syria dan membangun benteng-benteng yang kuat di utara perbatasan Parsi.[11]
Dalam pengelolaan uang negara Khalifah Ali mengikuti prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh khalifah Umar, harta rakyat dikembalikan kepada rakyat. sikap jujur dan adil yang diterapkan oleh Ali ini, menimbulkan amarah di antara sejumblah pendukungnya sendiri dan kemudian berpihak kepada Mu’awiyah. Khalifah Ali juga menberi contoh mengenai persamaan di depan hukum dan peradilan, hal ini menunjukkan bahwa prinsip persamaan semua lapisan sosial dan etnik di depan hukum, dan peradilan bebas diteruskan oleh Ali sebagaimana pada masa-masa sebelum sejak masa Rasulullah.
Latar Belakang Adanya Tantangan dari Khawarij, Thalhah dan Mu’awiyah
Pemerintahan Ali bin Abi Thalib dengan kebijakan-kebijakannya untuk memulihkan situasi umat Islam tidaklah mulus mengingat Thalhah, Khawarij dan Mu’awiyah, menuntut agar kasus pembunuhan Khalifah Usman segera ditangkap dan mereka segera dibawa ke meja hijau. Namun tuntutan mereka itu tidak dikabulkan oleh Ali dengan beberapa alasan: Pertama Karena tugas utama yang mendesak dilakukan dalam situasi kritis yang penuh intimidasi seperti saat itu ialah memulihkan ketertiban dan mengkonsolidasikan kedudukan-kedudukan Khalifah. Kedua Menghukum para pembunuh bukanlah perkara mudah. Khalifah Usman tidak di bunuh oleh hanya satu orang saja, melainkan banyak orang yang melakukan pembunuhan tersebut.[12]
Dia pun menghindari pertikaian dengan Thalhah dan sekutunya. Tetapi tampaknya penyelesaian damai sulit untuk di capai. Maka kontak senjata pun tak dapat dielakkan lagi, sehingga Thalhah dan Zubair terbunuh sedangkan Aisyah dikembalikan ke Madinah. Peperangan ini terkenal dengan nama “waqi’ah al-Jamal” (perang Unta/Jamal) yang terjadi pada tahun 36 Hijriyah, dalam peperangan itu, pihak Ali bin Abi Thalib memperoleh kemenangan.
Tantangan selanjutnya muncul dari Mu’awiyah, yang tidak menerima pemberhentiannya, yang pada akhirnya terjadi peperangan antara pasukan Mu’awiyah dan pasukan Ali bin Abi Thalib di Siffin. Ali bin Abi Thalib pada mulanya tidak menginginkan terjadinya pertempuran tersebut, tetapi Mu’awiyah tak mengindahkannya sehingga mengakibatkan jatuhnya banyak korban dari kedua belah pihak. Namun pada akhirnya pertempuran tersebut dapat dihentikan dengan meminta diadakannya perdamaian antara kedua belah pihak dengan cara mengangkat kitab suci Al-Qur’an sebagai symbol perdamaian. Kelicikan Mu’awiyah ini disambut baik oleh Khalifah Ali dengan mengadakan gencatan senjata. Kedua belah pihak mengambil jalan Tahkim (arbitrase) untuk mengakhiri pertempuran, masing-masing pihak mengangkat satu wakil untuk mengadakan perundingan, dari pihak Mu’awiyah di utus Amr bin Ash sedangkan dari pihak Ali mengangkat Abu Musa al-Asy’ari sebagai wakil.
Dari pertemuan mereka, diputuskan bahwa Mu’awiyah dan Ali bin Abi Thalib harus melepaskan jabatannya. Namun setelah Abu Musa al-Asy’ari mengumumkan untuk meletakkan jabatan Ali bin Abi Thalib dan Amr bin Ash justru menolak menjatuhkan Mu’awiyah. Peristiwa Tahkim secara politik merugikan pihak Ali.
Keputusan Ali untuk mengadakan tahkim pun telah menuai protes dari sebagian pasukannya, yang kemudian keluar dari pasukan Ali dan dikenal dengan nama “Khawarij”. Mereka berpegang pada prinsip bahwa kebenaran yang sesungguhnya itu bukanlah semata-mata hanya berada ditangan manusia. Sebagaimana mereka berberpegang pada firman Allah Qs. al-Maidah (5) : 44
Terjamahan : Sungguh, kami yang menurunkan Kitab Taurat, di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya. Yang dengan Kitab itu para Nabi yang berserah diri kepada Allah memberi putusan atas perkara orang Yahudi, demikian juga para ulama dan pendeta-pendeta mereka, sebab mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu jual ayat-ayat-Ku dengan harga murah. Barang siapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.[13]
Dengan pandangan kaum Khawarij tersebut, mereka merencanakan untuk membunuh tokoh-tokoh yang ikut dalam peristiwa Tahkim, dan hal ini telah berhasil membunuh Ali pada tahun 40 H, ketika Ali menuju ke Masjid hendak mengimami shalat berjama’ah Subuh.[14]
Ali ra. Terbunuh pada malam Jum’at waktu sahur pada tanggal 17 Ramadhan tahun 40 H. Ada yang mengatakan pada bulan Rabi’ul Awwal. Namun pendapat pertama lebih shahih dan populer.
Ali ra. ditikam pada hari Jum’at 17 Ramadhan tahun 40 H, tanpa ada perselisihan. Ada yang mengatakan bahwa dia wafat pada hari dia di tikam, ada juga yang mengatakan pada hari Ahad tanggal 19 Ramadhan.
Al-fallas berkata, “Ada yang mengatakan, dia ditikam pada malam dua puluh satu Ramadhan dan wafat pada malam dua puluh empat dalam usia 58 atau 59 tahun.
Ada yang mengatakan, dia wafat dalam usia 63 tahun. Itulah pendapat yang masyhur, demikian di tuturkan oleh Muhammad bin al-Hanafiyah, Abu Ja’far al-Baqir, Abu Ishaq as-Sabi’i dan Abu Bakar bin Ayasy. Sebagian ulama lain mengatakan, wafat dalam usia 63 atau 64 tahun. Diriwayatkan dari Abu Ja’far al-Baqir, katanya, “wafat dalam usia 64 tahun.”
Masa kekhalifaan Ali bin Abi Thalib lima tahun kurang tiga bulan. Ada yang mengatakan empat tahun sembilan bulan tiga hari. Ada yang mengatakan empat tahun delapan bulan dua puluh tiga hari.
Secara umum prestasi Khulafa’ al-Rasyidin dalam hal perluasan wilayah, diawali pada masa Abu Bakar dan mencapai titik tertingginya pada masa Umar dan relativ berhenti pada masa Ali yang kekhalifaannya lebih banyak diliputi oleh banyak pertikaian internal sehingga tidak memungkinkan ekspansi lebih jauh. Pada akhir satu generasi pasca Muhammad, inperium Islam telah membenteng dari Oxus hingga Syrtis di Afrika sebelah Utara.[15]
Demikian gambaran tentang kepemimpinan Khulafa al-Rasyidin yang kemudian menjadi inspirasi bagi sebagian orang untuk mendirikan Negara Islam, namun dalam waktu yang bersamaan justru kepemimpinan tersebut dipahami sebagai dasar demokrasi tanpa harus memformalkan dalam bentuk Negara Islam.
Kesimpulan
Setelah Usman terbunuh Ali bin Abi Thalib pun ditunjuk sebagai Khalifah keempat. Namun perjalanan kekhalifaan Ali tidaklah berjalan mulus, karena munculnya banyak tekanan akibat pembunuhan Khalifah Usman bin Affan.
Kebijakan Ali bin Abi Thalib dalam rangka pemulihan stabilitas pemerintahan justru kemudian memicu pemberontakan baru seperti penggantian Umaiyyah. Selanjutnya dalam internal pasukan Ali sendiri muncul pemberontakan akibat adanya arbitrase antara Ali dan Mu’awiyah, kelompok ini yang kemudian dikenal dengan Khawarij yang di belakang hari mereka membunuh Ali.
Catatn kaki

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2024 santri pengejar barokah - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -